Belajar dan menghafal al-Quran selama ini identik dengan
aktifitas para santri yang sedang bergelut dengan pelajaran ilmu-ilmu
keislaman di pondok pesantren, sementara para pelajar dan mahasiswa
lebih sering dikaitkan dengan aktifitas belajar ilmu-ilmu umum dan
teknologi modern. Mungkin terbilang langka mahasiswa hafal al-Quran
ataupun dosen hafal al-Quran.
Padahal kalau mau berkaca pada sejarah ilmuan-ilmuan muslim
yang fenomenal dalam bidang filsafat dan sains pada abad pertengahan
Islam, kita pasti akan mendapatkan segudang contoh orang-orang yang
mumpuni di bidangnya, dan mereka rata-rata hafal dan menguasai al-Quran.
Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ar-Razi dll, mereka adalah sosok
ilmuan yang komplit, rumus-rumus fisika, kimia, astronomi dikuasai,
tafsir, hadis, fiqh juga dipahami secara mendalam.
Apa rahasianya? Ternyata memang saat itu ada tradisi yang
kuat bahwa hafal dan faham al-Quran itu merupakan “harga mati” (tidak
boleh ditawar) sebelum mereka beranjak untuk mempelajari ilmu-ilmu
lainnya. Hal ini tercermin dalam tulisan Imam An-Nawawi dalam kitabnya
“Al-Majmu”:
وَيَنْبَغِىْ أَنْ يَبْدَأ مِنْ دُرُوْسِهِ عَلَى
المَشَايِخِ: وَفِي الحِفْظِ وَالتِّكْرَارِ وَالمُطَالَعَةِ بِالْأَهَمِّ
فَالْأهَمُّ: وَأوَّلُ مَا يَبْتَدِئُ بِهِ حِفْظُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ
فَهُوَ أَهَمُّ العُلُوْمِ وَكَانَ السَّلَفُ لاَ يَعْلَمُوْنَ الْحَدِيْثَ
وَالفِقْهَ إلاَّ لِمَنْ حَفِظَ الْقُرْآنَ
“ Hal Pertama ( yang harus diperhatikan oleh seorang
penuntut ilmu ) adalah menghafal Al Quran, karena ia adalah ilmu yang
terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadis dan
fiqh kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. “Imam Nawawi, Al Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66
Dan menurut pengamatan penulis, sejumlah mahasiswa yang
menghafal al-Quran ataupun yang telah hafal, memiliki tingkat kecerdasan
dan kreatifitas lebih dibanding lainnya. Rektor Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Bapak Prof. Dr. Imam
Suprayogo, dalam acara wisuda 2008 pernah menyampaikan bahwa dalam
beberapa tahun terakhir peraih predikat mahasiswa terbaik selalu diraih
oleh mahasiswa yang hafal al-Quran. Hal yang sama juga dibuktikan oleh
keluarga Bapak Mutammimul Ula. Kesepuluh putra putrinya yang sedang
menghafal al-Quran itu rata-rata menjadi pelajar dan mahasiswa terbaik
di sekolah mereka masing-masing.
Oleh karena itu tidak heran bila ada testimoni yang
mengejutkan dari Dr. Abdul Daim al-Kaheel dari Kuwait. Beliau menulis
dalam Artikel yang berjudul: Asrar al-Ilaj bi istima’ ila al-Quran dalam
situs pribadinya: www.kaheel7.com, sebagai berikut:
وَيُمْكِنُنِيْ أنْ أُخْبِرَكَ عَزِيْزِيْ القَارِئُ أنَّ
الْاِسْتِمَاعَ إلىَ الْقُرْآنِ بِشَكْلٍ مُسْتَمِرٍّ يُؤَدِّيْ إلىَ
زِيَادَةِ قُدْرَةِ الْإِنْسَانِ عَلَى الْإِبْدَاعِ، وَهَذَا مَا حَدَثَ
مَعِيَ، فَقَبْلَ حِفْظِ الْقُرْآنِ أَذْكُرُ أنَّنِيْ كُنْتُ لاَ أُجِيْدُ
كِتَابَةَ جُمْلَةٍ بِشَكْلٍ صَحِيْحٍ، بَيْنَمَا الآنَ أقُوْمُ
بِكِتَابَةِ بَحْثٍ عِلْمِيٍ خِلاَلَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ فَقَطْ
Bisa saya informasikan pada para pembaca yang terhormat
bahwa mendengarkan ayat al-Quran secara kontinyu akan menambah kemampuan
berinovasi, sebagaimana yang terjadi pada diri saya. Sebelum hafal
al-Quran, saya masih ingat, saya kesulitan menulis satu kalimat dengan
baik dan benar, sementara sekarang saya mampu menulis karya ilmiah hanya
dalam kurun waktu satu sampai dua hari saja.
Untuk itu, kehadiran artikel ini dirasa penting
untuk memotivasi dan mengarahkan mahasiwa yang belum atau sedang
menghafalkan al-Quran agar mereka bergairah untuk menghafal dan
harapannya, mereka kelak menjadi generasi Islam yang unggul dan mumpuni,
sebagai “reinkarnasi” dari Al-Ghazali, Ar-Razi, Ibnu Miskawaih dll.
Salah satu tahapan utama dan pertama adalah menjadikan para mahasiswa
muslim mau menghafal dan memahami al-Quran.
Berikut ini motivasi dan alasan-alasan ringan, realistis,
praktis, tentang mengapa al-Quran itu penting untuk dihafal oleh
mahasiswa.
1. Otak, semangat, dan kesempatan Anda sekarang berada di masa keemasan
Kalau Anda seorang mahasiswa, pasti usia Anda masih dalam
kisaran 18-24 tahun. Usia tersebut masuk dalam kategori usia subur dan
produktif (golden age) dalam mencari ilmu, termasuk menghafal. Terkait
ini dengan usia ini, Syekh Alwi al-Haddad –dalam bukunya “Sabilul
Iddikar” (matan kitab An-Nashaih ad-Diniyyah) mengatakan:
وَأعْجَزَهُ الْفَخَارُ فَلاَ فَخَارَ
|
إذَا بَلَغَ الْفَتَى عِشْرِيْنَ عَاماً
|
فَلا سُدْتَ ماَ عِشْتَ مِنْ بَعْدِهِنَّهْ
|
إذَا لَمْ تَسُدْ في لَيَالي الشَّبَابْ
|
Ketika usia remaja menginjak 20 tahun dan tidak memiliki kebanggaan, maka tidak akan muncul kebanggaan lagi
Ketika engkau tidak mampu menguasai masa remaja, maka engkau tidak bisa menguasainya setelah itu selama hidupnya.
Dengan kata lain, “hari ini” bagi seorang remaja adalah
miniatur kesuksesan di masa yang akan datang. Bila “hari ini” dalam diri
seorang remaja telah tumbuh benih-benih kompetensi, integritas,
kepemimpinan, etos kerja tinggi, kemungkinan besar 10 tahun atau 15
tahun yang akan datang, sudah menjadi orang sukses sesuai dengan yang
dia kerjakan sekarang.
2. Bersyukurlah, tidak banyak orang yang bisa baca al-Quran
Mensyukuri anugerah Allah adalah sebuah keniscayaan manusia
sebagai hamba Allah. Allah memberikan anugerah kepada hambanya sesuai
takaran takdir yang dibarengi dengan ikhtiar maksimal. Oleh karenanya,
kadar karunia yang Allah berikan kepada hambanya berbeda-beda satu sama
lain. Allah berfirman (QS. An-Nahl:71):
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki,
Rizki itu bisa berupa harta, anak, kesehatan, ilmu dan
persaudaraan. Kalau anda hari ini kemampuan membaca ayat-ayat al-Quran
dengan baik, syukuri itu sebagai bagian dari rizki Allah. Tidak banyak
orang yang bisa membaca al-Quran, hanya orang pilihanlah yang diberi
kemampuan itu.
Nabi bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka dia memeiliki pemahaman dalam agama
Pengalaman saya (penulis) mengajar matakuliah PAI
(pendidikan Agama Islam) di beberapa kampus di kota Malang, rata-rata
80% dari mereka belum bisa baca al-Quran padahal usia mereka berkisar
18-20 tahun. Belum lagi kemampuan baca al-Quran masyarakat umum non
mahasiswa, tentu lebih banyak lagi. Jika kita tergolong orang yang bisa
baca al-Quran, maka bersyukurlah dengan cara yang lebih produktif.
Adakalanya dengan memperbanyak bacaan al-Quran, meningkatkan pemahaman
kandungannya atau meneruskannya ke jenjang tahfidz (menghafalkan).
Mungkin tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila kemampuan
baca al-Quran yang dimiliki itu tidak diamalkan secara istiqamah.
Sebagaimana pisau, ia tidak akan berarti apa-apa bila tidak digunakan
untuk keperluan memotong. Allah memberikan ilmu hakikatnya bukanlah
sebagai tujuan (goal) tapi semata alat (medium) untuk sampai pada tujuan. Sedang tujuan akhirnya adalah pengamalan serta pengajaran al-Quran itu sendiri.
3. Betapa banyak orang yang merindukan untuk menjadi penghafal al-Quran
Saya banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam, akademisi
yang ada di kota Malang. Mereka sekarang sudah jadi orang hebat,
dihormati, memiliki penghasilan tinggi. Di antara mereka ada yang
bercerita pada saya: ”mas, saya sampai sekarang ini masih mendambakan
untuk bisa hafal Al-Quran, tapi pada usia setua ini apa masih bisa?
Bahkan, salah seorang dosen saya di S3 UIN Maliki Malang, dengan usia di
atas 50 tahun, mengatakan: “saya sekarang menghafalkan al-Quran,
berapapun dapatnya tidak masalah, sebab Allah menghargai proses bukan
hasil. Cita-cita saya sebelum meninnggal, kalau bisa semua ayat al-Quran
sudah pernah dihafal agar memori otak yang Allah ciptakan ini pernah
terisi dengan file-file al-Quran.” Bukankah otak atau hati yang berisi al-Quran tidak akan disiksa oleh Allah? Sebagaimana sabda Rasulullah:
عن أبي أمامة : إنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ
وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ هَذِهِ الْمَصَاحِفَ الْمُعَلَّقَةَ فَإِنَّ اللهَ
لَنْ يُعَذِّبَ قَلْبًا وَعَى الْقُرْآنَ (رواه الدارمي)
Bacalah al-Quran, jangan sekali engkau tertipu dengan
mushaf yang tergantung ini, karena Allah tidak akan menyiksa hati yang
berisi al-Quran (HR. Ad-Darimi)
Demikian juga salah seorang pembantu rektor di Universitas
Negeri Malang, secara implisit bertanya hal yang hampir sama pada saya,
yaitu tentang tata cara menghafal dan menjaga al-Quran di usia dewasa.
Dua tahun yang lalu, saya mengikuti acara khataman di rumah Ustdaz
Asrukin (Dosen Ilmu Perpustakaan UM), di sana bertemu orang “sepuh”
dari Kepanjen Malang yang sedang menghafal al-Quran sejak usia 55
tahun, waktu itu baru bisa menghafal 25 juz. Di Pesantren Darul Quran
Singosari Malang, juga pernah kedatangan santriwati berusia 50-an tahun
dari daerah Tanggul kota Jember. Teman saya, seorang ibu dua anak masih
menyempatkan diri setoran hafalan al-Quran seminggu sekali di Pesantren
Nurul Ulum Kebonagung Malang. Mungkin mereka yang merindukan menjadi
penghafal al-Quran tersebut sudah pernah mencoba tapi gagal, atau
mungkin karena kesibukannya tidak sempat menghafal. Jadi, kalau hari ini
Anda menghafal, berarti Anda telah melakukan sesuatu yang banyak
dirindukan orang lain. Kalau mereka baru bermimpi, Anda sudah
melakukannya, berbahagialah!
4. Tidak banyak orang yang punya niat dan mulai menghafal
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kemampuan baca
al-Quran yang sudah ada selama ini seharusnya ditingkatkan, sebagai
ungkapan rasa syukur pada Allah. Demikian juga, bila kita hari ini sudah
punya niat untuk menghafal dan sudah mulai menghafal, maka
bersyukurlah, sebab tidak banyak orang yang mendeklarasikan diri untuk
berkomitmen menghafal (nawaitu) dan mulai melakukannya.
Rasa syukur itu semestinya dimanifestasikan secara konkrit
dalam bentuk upaya maksimal meneruskan hafalan itu hingga paripurna
(tuntas). Ibarat biji tanaman, setelah ditancapkan ke dalam tanah, ia
harus kontinyu disiram dan dipupuk sampai tumbuh dan berkembang subur
lalu berbuah.
5. Tidakkah kita malu dengan anak balita yang hafal al-Quran
Belum lama ini di situs Youtube terpampang seorang anak balita brilian yang membaca al-Quran bil ghaib.
Dialah Abdurrahman Farih dari Al-Jazair (yang saat direkam baru berusia
tiga tahun). Siapakah orang tua yang tidak bangga memiliki anak
sesholih dan secerdas dia. Di Indonesia, orang tua yang anaknya
terjaring dalam DACIL (Audisi Dai Cilik) saja bangganya bukan kepalang.
Hal yang perlu menjadi catatan kita, dalam usia semuda itu si Farih
telah memulai dan melaksanakan hafalan hingga tuntas.
Bagaimana dengan Anda? Sudah berapa usia Anda? Bila hari
ini usia Anda sudah di atas 18 tahun dan belum nawaitu untuk menghafal
atau belum tuntas dalam menghafal, patutlah Farih menjadi ”cambuk”, agar
anda merasa malu dan tergerak untuk memulai. Kapan lagi memulai, jangan
pernah menunda sebuah niat suci. Motivasi tidak ada jaminan datang dua
kali. Bisa jadi, niat yang pelaksanaannya tertunda akan menguap dan
sirna selamanya.
Jangan putus asa bila di usia sekarang Anda belum sukses,
masih ada beberapa tahun menuju usia 23 tahun dimana sepanjang itu
al-Quran lengkap diturunkan. Atau mungkin usia Anda sudah di atas 30
tahun, jangan putus asa untuk menghafal sebab Rasulullah mulai menerima
wahyu dan menghafal baru di usia 40 tahun. Kalau usia anda di usia 55
tahun belum selesai menghafal, jangan putus ada karena Rasulullah tuntas
menerima wahyu di usia 61 tahun.
6. Tidak inginkah kita membahagiakan orang yang selama ini rela menderita untuk kita
Setiap kali terlahir anak manusia, pasti di sana ada orang
yang ikut bersuka cita menyambut kehadiran sang bayi. Siang malam
tercurah kasih sayangnya. Dialah ayah dan ibu kita. Sang anak tumbuh
menjadi besar lalu menjadi remaja, tak pernah lepas dari belaian kasih
sayang orang tua terutama ibu. Mereka rela menderita demi kebahagiaan
sang anak. Keringat dan air mata menghiasi keikhlasan mereka dalam
mendidik dan membesarkan putra putrinya.
Mahasiswa yang sedang studi jauh dari orang tua, terkadang
tidak banyak tahu tentang penderitaan orang tua di rumah, bagaimana
mereka membanting tulang, berhutang rupiah kesana kemari demi
kelangsungan studi putra putrinya yang berada di perantauan, nun jauh di
sana. Si anak sering tidak diberitahu tentang suka duka orangtua yang
di rumah, agar tidak tak terganggu konsentrasi mereka. Namun, si anak
mesti merasakan dan peka akan suka duka orang tua tersebut. Harapannya,
dari sana akan muncul empati serta simpati dari anak, untuk kemudian
berupaya untuk memberikan balas budi kepada orang tua kelak di kemudian
hari.
Dengan menghafal al-Quran, kita ingin memanjakan orang tua
supaya mereka bisa bangga dan terhibur. Rata-rata orang tua sudah merasa
senang manakala anaknya berprestasi dan berperilaku baik, tawaddu’,
dibanding semata-mata ”pamer kekayaan”. Paling tidak, dalam bayangan
orang tua, ketika mendengar anaknya hafal al-Quran, kelak pahala baca
al-Quran dari anak tak kan pernah putus dan akan senantiasa menerangi
kubur mereka dengan cahaya al-Quran.
Rasulullah bersabda:
عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ
وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
ضَوْؤُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِى بُيُوتِ الدُّنْيَا (رواه أبو
داود)
Barang siapa yang membaca al-Quran dan mengamalkan
isinya maka pada hari kiamat kedua orang tuanya akan diberi mahkota yang
cahayanya lebih indah daripada sinar matahari di dunia.
7. Begitu indahnya, jika kubur orang tua kita selalu bersinar lantaran al-Quran yang selalu kita baca
Sebagai orang beriman, kita meyakini akan adanya siksa
kubur dan akherat. Juga kita meyakini bahwa al-Quran yang kita baca
pasti akan sampai pada orang yang telah meninggal. Cepat atau lambat
orang tua kita pasti berpulang ke hadirat ilahi rabbi. Alangkah
indahnya, jika kubur orang tua kita yang sempit dan gelap, bertaburkan
cahaya al-Quran. Orang yang hafal al-Quran secara umum memiliki
intensitas bacaan yang lebih tinggi dibanding dengan yang tidak,
sehingga peluang untuk mendoakan dan mengirimkan pahala pada orang tua,
lebih terbuka.
Abu Ja’far meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa
orang mukmin itu apabila diletakkan di dalam kuburnya maka kuburnya itu
dilapangkan 70 hasta, ditaburi harum-haruman dan ditutup dengan kain
sutera. Apabila ia hafal sebagian dari Al-Qur’an maka apa yang
dihafalnya itu menerangi seluruh kuburnya, dan apabila ia tidak hafal,
maka ia dibuatkan cahaya seperti matahari di dalam kuburnya. Ia bagaikan
pengantin baru yang tidur dan tidak dibangunkan kecuali oleh isteri
yang sangat dicintainya. Kemudian ia bangun dari tidurnya seakan-akan ia
belum puas dari tidurnya itu.
8. Betapa inginnya kita mendapatkan pendamping yang lidahnya selalu basah dengan al-Quran
Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah berkata:
عَامِلِ النَّاسَ بِمَا تُحِبُّ أَنْ يُعَامِلُوْكَ بِهِ
Perlakukan orang lain dengan sesuatu yang kau ingin diperlakukan seperti itu.
Bila kau ingin dapat hadiah, seringlah memberi hadiah pada
orang lain. Sebaliknya bila kau ingin disakiti oleh orang lain, sakiti
dia. Ungkapan tersebut senada dengan hadis nabi:
وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ (رواه مسلم)
Lakukan pada orang lain sesuatu yang dia suka diperlakukan seperti itu.
Kecenderungan banyak orang, mereka ingin memperoleh
pasangan hidup yang sempurna (cantik/tampan, pandai, setia, kaya dsb).
Sementara, tidak banyak yang memperindah dirinya dengan sifat-sifat
sempurna semacam itu. Termasuk hal yang diidamkan oleh mayoritas
muslim/muslimah adalah memiliki istri atau suami yang mahir atau hafal
al-Quran. Begitu indah rasanya, apabila dalam keluarga yang dimotori
oleh suami atau istri, ada gema lantunan ayat suci al-Quran yang tak
pernah putus. Dengan demikian, suasana rumah akan terasa sejuk penuh
aura kedamaian dan bertebarkan cahaya qurani.
Rumah sebagai sebuah lembaga informal untuk mendidik putra
putri yang salih shalihah dan akan sukses, manakala anak-anak meneladani
hal-hal baik yang dilakukan orangtuanya. Dari sini, banyak contoh yang
bisa dipaparkan. Keluarga alm. KH. Amir Singosari Malang, enam anaknya
hafal al-Quran, kel. Drs. Mutammimul Ula di Bekasi, 10 anaknya hafal
al-Quran dll.
Hanya saja, sebaiknya ketergantungan kita dengan orang lain
dihilangkan. Daripada mengharap pasangan kita yang ideal, lebih baik
mengidealkan diri kita sendiri. Daripada bermimpi mendapatkan jodoh
penghafal al-Quran yang susah terrealisasi, lebih baik kita sendiri
menjadi penghafal al-Quran, why not? Alih-alih mengharap dan mencari,
kita malah diharap dan dicari orang lain, insyaallah.
9. Begitu indahnya, jika kita membesarkan anak-anak kita dengan gema dan aura al-Quran
Mereka yang hari ini sukses, jadi orang besar, jadi orang
baik, pasti mereka dididik dengan pola asuh yang benar. Mereka pernah
kecil, mengalami masa kanak-kanak yang indah dan menyenangkan. Kita
semua juga ingin anak-anak kita hidup demikian.
Tentu, dimulai dari orang tuanya. Sapu yang bersih akan
dengan mudah membersihkan tempat kotor. Sapu yang kotor malah mengotori
tempat bersih. Orangtua yang hafal al-Quran berpotensi menciptakan
generasi yang hafal al-Quran juga. Di saat anak-anak masih tidur
menjelang tiba waktu Subuh, kita bangunkan mereka dengan nada-nada
al-Quran. Konon, alam bawah sadar anak (otak pada gelombang teta) akan
terus merekam suara-suara luar meski mereka terlelap tidur.
Meninabobokkan bayi, sembari memperdengarkan alunan kalam ilahi,
sungguh memberikan energi positif yang luar biasa.
Demikian juga, ketika mengantar dan menjemput anak sekolah,
tak henti-hentinya orang tua memandu hafalan anak. Lebih-lebih lagi,
waktu anak-anak sakit selalu dibacakan doa-doa dan ayat al-Quran untuk
memohon kesembuhan mereka. Berkunjung ke makam famili dan orang sholih,
kita ajari mereka mendoakan dan membacakan al-Quran serta pada even-even
penting lainnya.
10. Suatu ketika, kita pasti menjadi dewasa lalu tua, apa kegiatan kita di saat-saat menyongsong ajal tersebut?
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa masa tua adalah masa dimana
orang rentan terhinggap banyak penyakit, semua organ tubuh sudah
berkurang fungsi dan powernya. Mata sudah mulai kabur, pendengaran juga
tidak setajam dahulu. Mungkin pada usia itu, kita sudah pensiun dari
pekerjaan, rumah sudah bagus, harta melimpah, sehingga tidak lagi
membutuhkan aktivitas kerja lagi. Dalam kondisi seperti ini, apakah Anda
betah berjam-jam duduk di depan televisi saja atau hanya jalan-jalan
ringan mengelilingi rumah, meski harta melimpah. Lalu mana aktivitas
ibadahnya?
Seusai shalat wajib di masjid tentu berdzikir lalu pulang
ke rumah begitu seterusnya. Mau baca al-Quran mata tidak lagi jelas,
apalagi menghafal. Relakah masa tua kita hanya seperti itu? Tidakkah
kita ingin setiap hembusan nafas yang keluar dari mulut kita adalah
untaian kalimat al-Quran. Setiap detakan jantung bernilai sepuluh
kebaikan lantaran satu huruf al-Quran yang kita baca. Siang dan malam
hari, juz demi juz terdendangkan dengan merdu. Semua itu mustahil
terjadi apabila seseorang tidak hafal al-Quran. Meski mata tak mampu
melihat lekukan huruf-huruf al-Quran, tetapi hati sangat tajam dan
pikiran terus bersinar, mampu menangkap lafadz dan makna al-Quran.
Keistiqamahan semacam ini insyaallah menjamin kita untuk menghembuskan
nafas terakhir dengan khusnul khatimah, amin.
Rasulullah saw menganjurkan agar “kepulangan kita” kelak kepada Allah dalam kondisi membawa al-Quran, beliau bersabda:
إنَّكُمْ لاَ تُرْجَعُوْنَ إلىَ اللهِ بِشَيْءٍ أَفْضَلُ مِمَّا خَرَجَ مِنْهُ يَعْنِيْ الْقُرْآنَ (رواه الحاكم عن أبي ذر الغفاري)
Sesungguhnya kalian tidak dikembalikan kepada Allah
dengan membawa sesuatu yang lebih utama dibanding sesuatu yang keluar
dari Allah yaitu al-Quran.
11. Maukah “rapot merah” amal kita “dikatrol” oleh al-Quran?
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه (رواه مسلم عن أبي أمامة(
Bacalah al-Quran, niscaya dia kan datang pada hari kiamat sebagai penolong pembacanya.
Hadis ini memberikan garansi kepada para pembaca al-Quran
atau orang yang mendalami al-Quran. Garansi tersebut cukup melegakkan
kita semua, sebagai hamba Allah yang penuh salah dan dosa. Di hari
ketika harta dan tahta tidak lagi mampu menyelamatkan kita dari kobaran
api neraka.
Anak dan saudara juga tak kuasa menolong dari dalamnya
jurang jahannam, saat itulah al-Quran datang sebagai syafi’
(penyelamat). Hari itu tak ada yang kita butuhkan melainkan rahmat Allah
dan amal baik yang tulus kita lakukan. Allah memberikan 10 tiket surga
kepada penghafal al-Quran yang juga pengamal isinya, untuk dibagikan
pada keluarganya, sebagaimana sabda Rasulullah:
علي بن أبي طالب قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
مـَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَاسْتَظْهَرَهُ فَأَحَلَّ حَلَالَهُ وَحَرَّمَ
حَرَامَهُ أدْخَلَهُ اللهُ بِهِ الْجَنَّةَ وَشَفَّعَهُ فِيْ عَشْرَةٍ مِنْ
أَهْلِ بَيْتِهِ كُلِّهِمْ وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ (رواه الترمذي)
Barang siapa membaca dan menghafal al-Quran lalu
menghukumi halal dan haram berdasar al-Quran, maka Allah akan
memasukkannya ke surga dan memberi hak untuk menolong 10 keluarganya
yang telah dipastikan masuk neraka.
12. Betapa inginnya kita selalu berhujjah dengan al-Quran dalam disiplin ilmu apapun
Hampir semua perguruan tinggi Islam di timur tengah
mensyaratkan calon mahasiswanya hafal al-Quran minimal tiga juz untuk
jurusan non keislaman dan mahasiswa non Arab, dan 15 juz untuk jurusan
keislaman bagi mahasiswa dari negara-negara Arab. Persyaratan tersebut
didasarkan pada pertimbangan akademis-ilmiyah. Sebagai calon intelektual
muslim, mahasiswa muslim diharapkan mampu mengkolaborasikan ilmu umum
dengan ilmu agama dan mensinergikan ayat qur’aniyyah dengan ayat
kauniyyah.
Faktor inilah yang menambah tingkat urgensi hafalan. Orang
yang hafal sangat berpotensi untuk paham arti kandungannya. Mereka yang
hafal dan paham, berpotensi memiliki kapasitas dalam melakukan istinbath
hukum serta proses istidlal secara cepat dan akurat.
Al-Quran menopang disiplin ilmu apapun. Ayat-ayat yang
terkait ilmu-ilmu sosial, budaya, seni, sangat melimpah dalam al-Quran.
Kita mendambakkan sosok seperti al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina, mereka
jadi orang jenius dan kapabel dalam bidangnya masing-masing setelah
menghafal al-Quran. Al-Quran yang telah terpatri dalam diri mereka,
mampu menginspirasi untuk memunculkan karya monumental mereka yang abadi
hingga kini. Dalam otak dan jiwa mereka seakan terdapat ensiklopedia
besar nan lengkap. Ia siap diartikulasikan kapan saja, di mana saja dan
dalam bidang apapun. Terlebih lagi untuk hal-hal yang bersinggungan
dengan ilmu-ilmu keislaman, seperti fiqh, tafsir, hadis dsb.
Mengamati sejarah keilmuan para fuqaha, mufassirin,
muhadditsin yang populer, hampir tidak diketemukan dari mereka, orang
yang tidak hafal al-Quran. Bahkan rata-rata mereka hafal al-Quran di
usia anak-anak. Misalnya, Imam Syafii hafal al-Quran di usia 7 tahun.
13. Betapa sejuknya hati, bila Al-Quran menghiasi setiap kegiatan dalam keseharian kita
Kesejukan dan kedamaian hati bisa disebabkan oleh banyak
hal. Adakalanya kedamaian hati muncul karena ketercukupan materi dan
keterpenuhan kebutuhan finansial. Bisa juga kedamaian hati itu datang
melalui dzikir dan membaca al-Quran. Sebagaimana firman Allah: Ingatlah
dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Artinya, semakin banyak kita
membaca al-Quran, semakin lama pula tingkat kedamaian yang menyelimuti
kita.
Al-Quran bisa dibaca secara fleksibel kapan saja; pagi,
siang, sore, petang, malam, tengah malam, saat senang, saat susah.
Demikian juga, ia bisa dibaca dimana saja; di atas sajadah, di atas
kasur, di atas kendaraan, sambil jalan, sambil beraktifitas.
Fleksibilitas tersebut hanya dapat dilakukan bila yang bersangkutan
hafal al-Quran secara lancar.
Kehadiran teknologi canggih saat ini sangat membantu
meminimalisir kesalahan. Dengan teknologi audio digital, kita dapat
mendengarkan al-Quran secara utuh melalui piranti MP3 portable yang
terhubung dengan earphone mini. Teknologi visual juga tidak kalah
canggih, al-Quran sekarang sudah bisa diinstall dalam perangkat ponsel,
Ipad, Iphone maupun Blackberry. Dengan kata lain, hafalan yang kurang
lancar, bukan sebuah kendala, sebab bisa diatasi dengan perangkat
canggih tersebut.
14. Yakinlah bahwa Al-Quran akan menolong kita selama kita juga menolong Al-Quran
Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), sekaligus
mukjizat nabi Muhammad terbesar. Mengikuti pesan-pesan yang terdapat
dalam al-Quran hakikatnya adalah taat pada Allah dan rasulnya. Ikut
memelihara al-Quran berarti ikut merealisasikan janji Allah dalam
al-Quran: Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Quran dan kamilah yang
menjaganya.
Dalam ayat tersebut, terdapat kata “inna” yang berarti
kami, padahal yang dimaksud adalah Allah. Sebagian mufassir mengatakan
bahwa maksud ayat tersebut adalah pelibatan manusia dalam rangka
penjagaan Allah terhadap al-Quran. Para ulama sepakat bahwa hukum
menghafal al-Quran itu fardlu kifayah. Keputusan hukum tersebut
diantaranya didasarkan pada ayat di atas.
Hal senada dengan itu, firman Allah: Jika kalian membantu
Allah pastilah Allah akan membantu kalian. Dengan kata lain kalau kalian
membantu al-Quran maka al-Quran akan membantu kalian. Betapa banyak
orang yang hidupnya bahagia sejahtera, lantaran mencurahkan perhatiannya
untuk belajar dan mengajarkan al-Quran. Bentuk perjuangan tertinggi
dalam membantu al-Quran adalah menghafalkannya. Untuk itu yakinlah,
setelah kita bersusah payah menghafalkan al-Quran kelak hidup kita akan
ditata langsung oleh Allah.
15. Tidak banyak, orang yang mendapatkan fasilitas hidup seperti kita. Apa wujud terima kasih kita?
Rasa syukur yang mendalam atas sebuah nikmat mampu
menginspirasi untuk berbuat lebih baik. Dengan menyadari karunia Allah
berupa kemampuan baca al-Quran atau berupa rizki yang cukup, seseorang
pasti ingin mengungkap rasa syukurnya kepada pemberi karunia tersebut,
yaitu Allah swt. Syukur yang hakiki adalah mengarahkan karunia tersebut
sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Lalu bagaimana mensyukuri karunianya yang berupa kemampuan
baca al-Quran? Sepakat atau tidak sepakat harus diakui bahwa di
sekeliling kita sangat langka orang yang bisa baca al-Quran dengan baik
dan benar. Secara tersirat dapat dipahami bahwa Allah memang memilih
diantara hambanya orang-orang yang dititipi al-Quran. Orang pilihan
pastilah orang yang terpercaya. Orang yang terpercaya pastilah ia orang
yang terbaik. Allah berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ
عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ
وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ
الْكَبِيرُ ﴿فاطر:٣٢﴾
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang
Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan
dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.
Adapun bentuk rasa syukur tersebut adalah memperbanyak
membaca atau menghafalkannya atau memahami isi kandungannya atau
melakukan ketiganya. Orang yang diberikan kemampuan membaca dengan baik,
hakikatnya dia baru diberi media untuk menjadi orang baik. Sama halnya
orang yang diberi kail untuk memancing atau pisau untuk memotong. Kail
dan pisau tersebut oleh si pemberi bukan untuk hiasan. Si pemberi
sebetulnya sedang menanti kapan kail dan pisau tersebut dipakai. Si
pemberi akan merasa puas apabila kedua alat tersebut benar-benar telah
dipakai untuk kebaikan. Demikian juga kemampuan baca al-Quran, ia hanya
sebuah media (wasilah), sementara tujuan diberikannya karunia tersebut
adalah dengan membaca sebanyak-banyaknya, menghafalkannya, dan memahami
kandungannya.
16. Mulailah dari nol, karena ia pengganda setiap bilangan. Mulailah dari niat, karena ia menjadi penentu setiap sukses.
Banyak orang mendambakan suatu cita-cita dan
memimpikan cita-cita tersebut tergapai dengan mudah tanpa pengorbanan.
Tak terhitung mereka yang kagum dengan para penghafal al-Quran. Tak
terhitung pula mereka berkeinginan untuk menjadi penghafal al-Quran.
Hanya saja tidak banyak dari mereka yang menindaklanjuti keinginan
tersebut dalam bentuk aksi nyata. Terkait dengan fenomena ini Ibn
Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam mengatakan:
كَيْفَ تَخْرِقُ لَكَ الْعَوَائِدُ وَأَنْتَ لَـمْ تَخْرِقْ مِنْ نَفْسِكَ الْعَوَائِدَ
Bagaimana mungkin engkau mendapatkan keluarbiasaan (khoriqul adah) kalau engkau tidak mengeluarkan dirimu dari kebiasaan
Setiap kesuksesan pasti diawali dari sebuah perjuangan dan
pengorbanan. Setiap perjuangan dalam meraih kesuksesan pastilah akan
berhadapan dengan sekian banyak rintangan. Bukankah dalam agama sendiri
-menurut al-Quran- terdapat banyak jalan mendaki (aqabah)? Dan Allah
menjanjikan surga bagi orang yang melewati aqabah terbut.
Bila Anda sekarang ini memiliki keinginan untuk menghafal
al-Quran, syukurilah itu karena ia adalah obor yang membantu kita
melewati gelapnya lorong panjang menuju taman surgawi yang abadi. Jangan
pernah rasa cinta dan motivasi tersebut redup dan memudar lalu padam.
Pelihara obor itu agar lebih terang dan semakin terang. Obor yang padam
akan susah menyala kembali. Obor yang padam tidak dapat dipastikan kapan
ia menyala kembali dan tidak ada jaminan untuk menyala kembali.
Untuk itu mulailah dari sekarang, jangan pernah menunda
kesempatan emas karena ia tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.
Mulailah selalu dengan niat dan komitmen tinggi. Niat laksana angka nol
yang menggandakan jumlah bilangan. Tanpa angka nol, tidak mungkin ada
angka sepuluh, seratus, seribu dan seterusnya. Sebagaimana juga tidak
mungkin ada urutan ke sepuluh tanpa dimulai dari urutan pertama. Artinya
untuk mengejar cita-cita suci, perlu sebuah niat dan komitmen yang
mantap, baru setelah itu memulai tahap I, tahap terendah yang mesti
dilalui.
Mustahil, bila ada orang hafal al-Quran 30 juz secara
instan, alias bim salabim, dalam hitungan hari. Jangan bermimpi
berlebihan bahwa Anda bisa hafal al-Quran melalui jalan ladunni
(pemberian langsung dari Allah), sehingga waktu habis untuk mencari
wirid kesana kemari dan mengamalkannya berbulan-bulan, sementara
kegiatan menghafalnya tidak ada sama sekali. Imam Ar-Raghib Assirjani
pernah mengatakan:
مَا لَمْ يَبْذُلْ جُهْدًا فِي حِفْظِهِ فَلاَ يَبْقَى فِي الذَّاكِرَةِ إلاَّ قَلِيْلاً (الراغب السرجاني)
Barang siapa yang tidak mengerahkan sekuat tenaga untuk menghafal, maka tidak akan tersisa di otaknya kecuali hanya sedikit.
Saya bersama rombongan JQH (Jamiyyah Qurro’ wal Huffadz,
kini bernama HTQ) Universitas Islam Negeri Malang tahun 2006 berkunjung
ke beberapa pesantren di daerah Mojokerto dan Jombang. Dalam kunjungan
tersebut, kami sempat menanyakan perihal wirid/doa yang mempercepat
hafalan. Tak satupun dari para masyayikh yang kami kunjungi memberikan
ijazah doa/wirid. Sebaliknya mereka justru mengatakan bahwa doa yang
paling mustajab adalah al-Quran itu sendiri. Mereka lebih menekankan
pada para santri yang sedang menghafal untuk fokus hafalan secara
istiqomah dan menjauhi wirid-wirid khusus yang panjang. Pepatah Arab
mengatakan:
بَيْضَةُ الْيَوْمِ خَيْرٌ مِنْ دَجاَجَةِ الْغَدِ
Lebih baik mengharap telur yang ada di hari ini dari pada mengharap ayam tapi masih besok adanya
17. Akankah kita menyerah sebelum pertandingan benar-benar selesai?
Tiap orang memiliki daya tahan (endurence) dan fokus
yang berbeda-beda dalam menghafal, sehingga tidak jarang para santri
itu berhenti di tengah perjalanan alias belum tuntas 30 juz, kendati
banyak juga yang selesai tuntas. Terkadang ketidaktuntasan tersebut
dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya lingkungan menghafal yang
kurang kondusif dan lemahnya dukungan keluarga. Bisa juga masalah muncul
dari lemahnya motivasi internal.
Sejak awal, mestinya santri atau mahasiswa mengidentifikasi
kemampuan dirinya. Apakah dia memiliki daya tahan dan fokus yang kuat?
Apa dia juga memiliki motivasi yang tinggi? Proses identifikasi tersebut
dilakukan dengan cara menghafal juz 30 terlebih dahulu. Juz 30 atau
yang lebih dikenal dengan juz ‘amma memiliki karakteristik ayat dan
surat yang pendek-pendek. Tentu dengan karakteristik seperti ini, juz 30
menjadi lebih mudah dihafal dibanding juz-juz lain dalam al-Quran.
Dengan kemudahan tersebut, seorang santri akan mampu meraba sendiri
kemampuan menghafalnya. Kalaupun dia terhenti di tengah jalan, tidak
akan sia-sia. Sebab, suratnya pendek-pendek dan banyak berguna untuk
menjadi imam shalat, minimal efektif untuk dijadikan wirid atau bacaan
rutin harian.
Ibarat bangunan rumah, bangunan yang sudah lengkap; ada
dinding, pagar serta atap, ia akan bertahan lama meski tidak dihuni dan
tidak terawat. Demikian juga hafalan. Ketika seseorang menghafal satu
surat secara utuh, biasanya akan awet atau tahan lama, meski lama tidak
dibaca. Resikonya menghafal juz 1 pada tahap awal akan mudah hilang
seandainya terhenti di pertengahan juz.
18. Dengarlah rintihan orang yang ingin menghafal, namun tidak tercapai
Diakui ataupun tidak, menghafal al-Quran itu bagi umumnya
kaum muslimin maupun muslimat merupakan naluri. Ia akan muncul dan
tenggelam sesuai lingkungan dan situasi yang melingkupinya. Naluri itu
kadang menjelma menjadi sebuah cita-cita dan harapan, layaknya kekayaan,
jabatan dan popularitas. Cita-cita tersebut akan berubah menjadi
menyakitkan manakala tidak tercapai.
Beberapa teman yang dulu ingin menghafal, rata-rata mereka
menyesali kenapa keinginan tersebut dulu tidak direalisasikan dalam
wujud usaha. Lebih-lebih, mereka yang pernah menghafal dan belum tuntas,
atau pernah hafal namun kini pergi entah ke mana, seumur hidup mereka
akan diliputi rintihan dan penyesalan. Mereka seakan hidup dalam
fatamorgana yang tiada henti dan pengandaian yang tak berujung;
seandainya dulu saya begini dan begitu, niscaya saya akan seperti mereka
yang sukses menghafal.
Sebelum kita merasakan pahitnya penyesalan, mari optimalkan
potensi dan maksimalkan ikhtiyar. Tentu perjuangan di awal itu beratnya
luar biasa. Penyesalan selalu berada di akhir cerita dan tak akan
pernah muncul di awalnya. Demikian pula, indahnya kesuksesan itu hanya
bisa dinikmati di akhir masa penantian panjang. Kata pepatah:
berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersusah-susah dahulu
lalu bersenang-senang kemudian.
19. Jangan tunda, hidup ini selalu dipenuhi dengan kata “ternyata” dan “tiba-tiba”
Waktu ini kadang menyerupai fatamorgana. Dari jauh
kelihatan indah, seakan kita masih memiliki kesempatan 1000 tahun yang
tiap detiknya bisa diisi dengan 1000 aktifitas luar biasa. Namun,
ternyata waktu yang kita miliki begitu singkat dan sesak dengan berbagai
kesibukan harian yang teknis. Fatamorgana di atas akan meninabobokkan
setiap orang, terlebih jika ingin melakukan kegiatan besar yang positif.
Itulah ujian tiap orang yang ingin sukses.
Saat menghafal al-Quran, mahasiswa kadang begitu santai
dalam melangkah. Alasan mereka, nanti saja kalau perkuliahan agak
sedikit longgar, tugas kuliah terselesaikan semua, atau nanti saja kalau
liburan panjang datang, akan menghafal sebanyak-banyaknya bila mungkin
akan “bertapa” demi menyelesaikan hafalan. Sikap “taswif”
(menunda-nunda) ini merupakan penyakit menular yang sangat ganas, serta
penyebab utama dari setiap kegagalan menghafal.
Harus disadari, bahwa waktu kita secara matematis masih
terbentang luas, sebenarnya hanyalah waktu bayangan bukan waktu yang
sebenarnya. Misalnya; pada hari Minggu besok saya tidak ada kegiatan
mulai pagi sampai malam sehingga jadwal menghafal hari Sabtu ini ditunda
dulu lantaran agak sibuk. Marilah ditelaah contoh kasus penundaan di
atas. Manusia oleh Allah tidak diberi kemampuan untuk mengetahui takdir
di esok hari. Kita semestinya tidak mengandalkan waktu yang belum muncul
di hari ini. Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi di esok hari,
diantaranya:
a. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada teman sakit yang butuh pertolongan kita
b. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba tubuh kita meriang/sakit
c. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada kabar kurang baik dari keluarga yang membuat kita susah
d. Pada pagi hari tiba-tiba ingin berolah raga atau main musik
e. Pada pagi hari, tiba-tiba ingin masak bersama teman atau mencuci baju
f. Pada siang hari, tiba-tiba ada acara televisi yang sangat bagus
g. Pada siang hari, tiba-tiba teman akrab lama datang
h. Pada siang hari, tiba-tiba ingin posting facebook atau menjawab email
i. Pada sore hari, tiba-tiba ingin bersih-bersih ruangan dan taman
j. Pada sore hari, tiba-tiba HP/komputer kita bermasalah yang butuh penanganan segera
k. Pada sore hari, tiba-tiba motor kita ditilang oleh polisi
l. Pada sore hari, tiba-tiba tetangga kita meninggal dunia
m. Pada sore hari tiba-tiba ingin cari makan yang enak
n. Pada sore hari tiba-tiba muncul rasa malas atas terkantuk ingin tidur
Dan masih ada ratusan kemungkinan lain yang menggagalkan kita untuk melakukan kegiatan di hari itu. Masihkah kita suka menunda?
20. Mimpikan kebaikan agar jadi kenyataan, nyatakan kebaikan agar jadi mimpi indah
Hampir setiap orang memiliki “mimpi” dan cita-cita untuk
menjadi sesuatu atau memiliki sesuatu. Namun, kondisi fisik, psikologis,
sosial kerapkali menenggelamkan mimpi itu. Sebetulnya orang yang
memiliki “mimpi sukses” itu tergolong orang yang hebat, sebab tidak
semua orang punya mimpi. Mimpi itu termasuk ingin hafal al-Quran.
Anugerah Allah yang berupa “mimpi untuk hafal al-Quran” jangan pernah
disia-siakan. Lakukan penguatan “mimpi” tersebut agar menjadi motivasi
kuat dengan banyak membaca kisah-kisah para pengahafal al-Quran serta
hikmah-hikmah menghafal.
Dengan demikian, motivasi menjadi kuat dan bisa
menggerakkan anggota tubuh untuk meralisasikannya menjadi kenyataan.
Disini diperlukan metode dan strategi, supaya mimpi itu tidak dibelokkan
menjadi angan-angan hampa belaka. Yakinlah setelah mimpi itu terwujud,
tentu hari-hari kita begitu indah bersama al-Quran bagaikan mimpi yang
membuai angan dan memanjakan khayalan.
21. Awali dari diri sendiri, kalau kita mendambakan sebuah keluarga “Qur’ani”
Kita tentu tergiur dengan kesuksesan keluarga bapak
Mutammimul Ula yang kesepuluh anaknya hafal al-Quran, atau ingin meniru
Abdurrahman Farih dan Husein Thababai yang mana di usia balita mereka
sudah hafal al-Quran. Kita juga ingin rumah selalu bergaung suara
al-Quran dari mulut anak-anak.
Hanya saja, semua harus dimulai dari diri kita (suami,
istri, bapak, ibu). Bagaimana mungkin anak-anak akan mengikuti jejak
orangtuanya, sementara orangtua tak memberi contoh pada mereka. Orangtua
yang hafal al-Quran akan dengan mudah mengenalkan dan membiasakan
hafalan pada putra-putrinya di manapun mereka berada. Mungkin setiap
berangkat sekolah, anak dituntun untuk menghafal surat-surat pendek.
Pasti tanpa terasa dalam kurun waktu satu tahun saja, anak akan hafal
lebih dari satu juz. Hal ini sulit terrealisasi bila orangtua belum
mulai menghafal sejak sekarang. Memang, orangtua yang punya hafalan itu
mendatangkan efek domino yang luas, bukan semata untuk diri sendiri,
tetapi juga untuk orang lain terutama keluarga dekatnya.
B. Manajemen Menghafal al-Quran
Ada fakta bahwa tidak semua orang yang memiliki niat
untuk menghafalkan al-Quran mampu merealisasikan niatnya, juga tidak
semua orang yang menghafal bisa tuntas sampai 30 juz, dan tidak semua
orang yang hafal 30 juz mampu membaca “bil ghaib” dengan lancar
dan baik. Demikian juga, tidak semua hafidz diberikan karunia untuk
menjadikan hafalannya sebagai dzikir yang selalu dilantunkannya secara
istiqamah sampai akhir hayatnya. Untuk itu, perlu kiranya
seorang mahasiswa melakukan pengaturan (manajemen) secara sistematis,
agar target yang direncanakan bisa tercapai.
1. Manajemen waktu
Pada dasarnya pilihlah waktu yang tepat untuk menghafal,
sangat tergantung kepada kenyamanan dan kondisi pribadi masing-masing.
Akan tetapi dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra,
disebutkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ
إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا
بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada yang
mempersulit diri dalam agama ini kecuali dia akan sampai, makanya
amalkan agama ini dengan benar, perlahan-lahan, dan berilah kabar
gembira, serta gunakan waktu pagi, siang dan malam (untuk
mengerjakannya)” ( HR Bukhari )
Umumnya, orang yang menghafalkan al-Quran di pesantren-pesantren menghabiskan waktu 3-4 tahun dengan program takhashshus (tahfidz
intensif/sebagian besar waktunya untuk menghafal). Sebenarnya, kalau
seseorang mampu mengatur waktu dengan baik, pasti akan jauh lebih cepat
dari waktu tersebut. Misalnya, dalam sehari dia menambah hafalan dua
halaman, maka dalam kurun waktu sepuluh bulan (atau max. 12 bulan) sudah
tuntas 30 juz. Atau paling tidak, jika perhari menambah hafalan baru
setengah halaman, maka dalam waktu 40 bulan (3 tahun 4 bulan atau max. 4
tahun) bisa tuntas semua. Tentu, dengan syarat setiap waktu terbuang
harus diganti atau dirangkap tanpa kompromi.
Untuk konteks mahasiswa, pengaturan waktu memang lebih rumit dibanding dengan peserta program takhashshus di
pesantren. Mahasiswa memiliki beban ganda yang berat. Terkait dengan
perkuliahan, dia harus mempersiapkan matakuliah setiap hari (min. 1
jam), mengikuti perkuliahan (rata-rata 4 jam sehari selama 5 hari),
mempersiapkan ujian UTS, UAS (min. 2 jam), menyelesaikan tugas membuat
makalah individu atau kelompok (min. 5 jam). Berikut ini gambaran
perbandingan kegiatan harian antara mahasiswa peserta program tahfidz
dan mahasiswa non tahfidz:
Tabel 1: Alokasi Ideal Waktu Mahasiswa non Tahfidz dalam 24 Jam
Kegiatan
|
Alokasi waktu
|
Prosentase
|
Persiapan materi kuliah, ujian dsb
|
2 jam
|
8,3 %
|
Mengikuti perkuliahan, seminar dsb
|
4 jam
|
16, 6 %
|
Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb
|
1 jam
|
4,1 %
|
Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb
|
2 jam
|
8,3 %
|
Istirahat, sholat, makan dsb
|
3 jam
|
12,5 %
|
Tidur
|
8 jam
|
33 %
|
Cuci/setrika baju, membersihkan kamar, kerja bakti dsb
|
2 jam
|
8,3 %
|
Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb
|
2 jam
|
8,3 %
|
Total
|
24 jam
|
100 %
|
Tabel di atas menunjukkan betapa longgarnya waktu mahasiswa
untuk belajar, ibadah, santai dan istirahat. Dengan alokasi seperti ini
saja mahasiswa yang komitmen dan konsisten melakukan kegiatan ilmiah
dan diniyah, pasti akan mencapai kesuksesan.
Adapun mereka yang mengambil program tahfidz penuh (30
juz), harus menyisihkan waktunya min. 9 jam perhari dengan perincian
sebagai berikut:
Tabel 2: Durasi Ideal Waktu Mahasiswa Tahfidz
Kegiatan
|
Durasi
|
Penambahan hafalan baru 1 hal
|
1 jam
|
Pengulangan hafalan baru 1/2 juz
|
1 jam
|
Setoran hafalan
|
2 jam
|
Pengulangan/murajaah harian 3 juz
|
2 jam
|
Latihan fashohah, terjemah, tafsir
|
1 jam
|
Total
|
9 jam
|
Setelah waktu untuk tahfidz ditambahkan dalam kegiatan harian, maka komposisi waktu kegiatan menjadi seperti berikut:
Tabel 3: Alokasi Waktu untuk Mahasiswa Tahfidz Setelah Pengurangan
Kegiatan
|
Alokasi waktu
|
Prosentase
|
Persiapan materi kuliah, ujian dsb
|
1 jam (2-1 jam)
|
4,1 %
|
Mengikuti perkuliahan, seminar dsb
|
2 jam (4-2 jam)
|
8,3 %
|
Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb
|
1 jam
|
4,1 %
|
Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb
|
1 jam (2-1 jam)
|
4,1 %
|
Istirahat, sholat, makan dsb
|
2 jam (3-1 jam)
|
8,3 %
|
Tidur
|
5 jam (8-3 jam)
|
20,8 %
|
Bersih-bersih baju, kamar, kerja bakti dsb
|
2 jam
|
8,3 %
|
Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb
|
1 jam (2-1 jam)
|
4,1 %
|
Tahfidz
|
9 jam
|
37,5 %
|
Total
|
24 jam
|
100 %
|
Dari tabel di atas, secara jelas diketahui bahwa mahasiswa yang akan menghafalkan al-Quran penuh (30 juz) harus siap melakukan riyadlah (latihan lahir batin) dan mujahadah (latihan
hidup prihatin) yang mungkin sangat melelahkan. Tidur yang biasanya
memakan waktu 8 jam dalam sehari semalam, harus dikurangi menjadi 5 jam.
Demikian juga semua kegiatan yang sifatnya rekreatif, penyaluran hobbi
semaksimal mungkin dikurangi, apalagi sekadar ngrumpi, ngobrol, cuci
mata dan sebagainya, mutlak harus ditinggalkan. Apabila seorang
mahasiswa memiliki tekad kuat untuk menghafal penuh, maka sebaiknya
disusun target secara sistematis sebagaimana contoh di bawah ini:
Contoh target program hafalan 30 juz (dari nol) selama 4 tahun kuliah
Bulan ke
|
||||||
1-2
|
3-4
|
5-6
|
7-8
|
9-10
|
11-12
|
|
Tahun pertama
(semester 1-2)
|
Fashahah binnadhar
juz 1-10
|
Fashahah binnadhar
juz 11-20
|
Fashahah binnadhar
juz 21-30
|
Tahfidz Juz 1
|
Tahfidz Juz 2
|
Tahfidz Juz 3
|
Tahun kedua
(semester 3-4)
|
Tahfidz juz 4-5
|
Tahfidz juz 6-7
|
Tahfidz Juz 8-9
|
Tahfidz Juz 10-11
|
Tahfidz Juz 12-13
|
Tahfidz Juz 14-15
|
Tahun ketiga
(semester 5-6)
|
Tahfidz Juz 16-17
|
Tahfidz Juz 18-19
|
Tahfidz Juz 20-21
|
Tahfidz Juz 22-23
|
Tahfidz Juz 24-25
|
Tahfidz Juz 26-27
|
Tahun keempat
(semester 7-8)
|
Tahfidz Juz 28
|
Tahfidz Juz 29
|
Tahfidz Juz 30
|
Murajaah juz 1-10
|
Murajaah
Juz 11-20
|
Murajaah juz 21-30
|
Pada tahun pertama (semester 1 dan 2) biasanya mahasiswa
mendapat beban matakuliah yang banyak (sekitar 24 sks), belum lagi
program intensif bahasa dan matrikulasi yang padat, sehingga dirancang
enam bulan pertama (semester 1) mahasiswa hanya latihan fashahah,
tajwid, dan tanda waqaf saja, mulai juz awal sampai khatam, kemudian
pada semester kedua mulai menghafal sedikit demi sedikit, yakni dalam
setiap dua bulan ditargetkan satu juz saja.
Pada tahun kedua ditargetkan satu bulan satu juz saja,
berarti minimal perhari harus menambah hafalan satu halaman sehingga
dalam waktu 20 hari (dengan asumsi satu juz ada 20 halaman untuk
al-Quran pojok mushaf Madinah atau terbitan menara kudus), sudah genap
satu juz dan sisanya dipakai untuk melancarkan.
Setelah mahasiswa memasuki semester 7-8, biasanya mereka
sangat disibukkan oleh program KKN, PPL, penulisan skripsi. Untuk itu
target hafalan dikurangi dari dua menjadi satu juz dalam dua bulan.
Pada enam bulan terakhir pada tahun keempat, terdapat sisa waktu yang
cukup untuk menyelesaikan target atau kalau sudah selesai, mereka harus
banyak melakukan murajaah dengan harapan dalam setiap dua bulan
(dari 6 bulan terakhir) mampu melancarkan minimal sepuluh juz yang telah
dihafal. Bisa saja, melakukan pentashihan ke beberapa guru al-Quran di
beberapa pondok pesantren.
Contoh alokasi waktu di atas berlaku juga untuk para
penghafal dari kalangan mahasiswi, dengan asumsi mereka mengikuti
pendapat yang membolehkan wanita yang menstruasi membaca al-Quran
seperti Imam Malik dan Imam Ibnu Taimiyah. Namun bagi mereka yang
konsisten dengan pendapat yang mengharamkan membaca al-Quran, perlu ada
penyesuaian jadwal dan perbedaannya tidak terlalu signifikan, misalnya
dari target 2 juz perbulan dirubah menjadi 1,5 juz. Bisa juga target
akhirnya sama yaitu selesai dalam waktu 4 tahun, hanya saja jumlah
penambahan hafalan harian di tambah, dari satu halaman perhari menjadi
1,5 halaman. Intinya perencanaan itu penting untuk mengawal dan
mengarahkan usaha kita agar sesuai cita-cita dan tujuan.
Adapun waktu yang sangat tepat untuk melakukan murajaah (pengulangan)
hafalan adalah waktu di sela-sela mengerjakan shalat–shalat sunnah,
baik di masjid maupun di kamar ma’had/kos. Hal ini dikarenakan saat
shalat seseorang fokus menghadap Allah, inilah yang membantu kita dalam
melancarkan hafalan. Berbeda ketika di luar shalat, seseorang cenderung
untuk bosan berada dalam satu posisi, ia ingin selalu bergerak, kadang
matanya melihat ke kanan atau kiri, atau akan melihat obyek yang
dianggap menarik, atau bahkan mungkin seseorang akan menghampirinya dan
mengajaknya ngobrol. Berbeda dengan orang yang sedang shalat, temannya
yang punya kepentingan kepadanya-pun terpaksa harus menunggu hingga
shalat usai dan tidak berani mendekat.
Target dan Beban Menghafal
Target selesai | Waktu Menghafal | Waktu Melancarkan | Hafalan perhari | Murajaah perhari |
1 tahun | 300 hari | 65 hari | 30 baris (2 halaman) | min 5 juz |
2 tahun | 600 hari | 130 hari | 15 baris (1 halaman) | min 2 juz |
3 tahun | 900 hari | 195 hari | 10 baris (2/3 halaman) | min 1,5 juz |
4 tahun | 1200 hari | 260 hari | 7.5 (1/5 halaman) | min 1 juz |
5 tahun | 1500 hari | 325 hari | 6 baris | min 1 juz |
6 tahun | 1800 hari | 65 hari | 5 baris (1/3 halaman) | min 1 juz |
2. Manajemen strategi/metode
Sebenarnya banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk
menghafal Al-Quran, Masing-masing orang akan mengambil metode yang
sesuai dengan kondisi masing-masing. Di sini akan disebutkan dua metode
yang sering dipakai oleh sebagian penghafal, dan terbukti sangat
efektif, yaitu:
Metode Pertama: Menghafal satu
persatu halaman (menggunakan Mushaf Madinah atau menara Kudus). Kita
membaca satu halaman yang akan kita hafal sebanyak tiga atau lima kali,
setelah itu kita baru mulai menghafal. Setelah hafal satu halaman, baru
kita pindah kepada halaman berikutnya dengan cara yang sama. Dan hindari
pindah ke halaman berikutnya dalam kondisi hafalan yang labil (belum
kuat), agar beban hafalan baru tidak menumpuk.
Metode Kedua : Menghafal ayat per
ayat , yaitu membaca satu ayat yang mau kita hafal tiga atau lima kali
secara benar, setelah itu, kita baru menghafal ayat tersebut. Setelah
selesai, kita pindah ke ayat berikutnya dengan cara yang sama, dan
begitu seterusnya sampai satu halaman. Akan tetapi sebelum pindah ke
ayat berikutnya kita harus mengulangi apa yang sudah kita hafal dari
ayat sebelumnya. Setelah satu halaman, maka kita mengulanginya
sebagaimana yang telah diterangkan pada metode pertama.
Untuk menunjang kualitas bacaan dan hafalan, kita melakukan tasmi’(memperdengarkan)
kepada seorang ustadz Al-Quran, agar beliaau membenarkan bacaan kita
yang salah. Ini dimaksudkan untuk meminimalisir kesalahan yang timbul.
Faktor lain yang menguatkan hafalan adalah menggunakan
seluruh panca indera yang kita miliki. Maksudnya kita menghafal bukan
hanya dengan mata saja, akan tetapi juga membaca dengan mulut kita, dan
kalau perlu kita lanjutkan dengan menulisnya ke dalam buku atau papan
tulis, sebagaimana yang diterapkan di sebagian daerah di Maroko, yakni
dengan menuliskan hafalan di atas papan kecil yang dipegang oleh murid,
setelah mereka menghafalnya di luar kepala, baru tulisan tersebut dicuci
dengan air.
Menggunakan satu jenis mushaf Al-Quran juga dapat
menguatkan hafalan. Jangan sekali-kali pindah dari satu jenis mushaf
kepada yang lain. Karena mata kita akan ikut menghafal apa yang kita
lihat. Jika kita melihat satu ayat lebih dari satu posisi, jelas itu
akan mengaburkan hafalan kita. Masalah ini, sudah dihimbau oleh penyair
dalam tulisannya :
الْعَيْنُ تَحْفَظُ قَبْلَ الْأُذُنِ مَا تُبْصِرُ فَاخْتَرْ لِنَفْسِكَ مُصْحَفَ عُمْرِكَ الْبَاقِيْ
“ Mata akan menghafal apa yang dilihatnya- sebelum telinga, maka pilihlah satu mushaf untuk anda selama hidupmu. “
Ada beberapa model penulisan mushaf, di antaranya adalah:
Mushaf Madinah atau terkenal dengan Al-Quran pojok, satu juz dari mushaf
ini terdiri dari 10 lembar, 20 halaman, 8 hizb, dan setiap halaman
dimulai dengan ayat baru. Mushaf Madinah (Mushaf Pojok) ini paling
banyak dipakai oleh para pengahafal Al-Quran, banyak dibagi-bagikan oleh
pemerintah Saudi kepada para jama’ah haji. Cetakan-cetakan Al-Quran
sekarang merujuk kepada model mushaf seperti ini. Untuk penerbit
Indonesia, ada model mushaf yang dipakai oleh sebagian pondok pesantren
tahfidh Al-Quran yaitu terbitan Menara Kudus.
Faktor lain yang mendukung hafalan adalah memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih). Biasanya seseorang yang tidak memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih),
hafalannya cendeung tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Ayat
yang ada di juz lima misalnya akan terbawa ke juz sepuluh. Ayat yang
semestinya ada di surat Al-Ma-idah akan terbawa ke surat Al-Baqarah, dan
begitu seterusnya. Di bawah ini ada beberapa contoh ayat-ayat serupa
(mutasyabihah) yang seseorang sering melakukan kesalahan ketika
menghafalnya :
1- (وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ﴾ البقرة 173 è
﴿وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ) المائدة 3 ، والأنعام 145، و النحل
115
2- (ذلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ
وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّين بغير الحق) البقرة 61، آل عمران21 è
(وَيَقْتُلُونَ الأنبياء بغير حق) آل عمرن 112.
Untuk melihat ayat–ayat mutasyabihat seperti ini secara lebih lengkap boleh dirujuk buku–buku Mutasyabihat Al-Quran, karya Abul Husain bin Al Munady,Pedoman Ayat Mutasyabihat, karya KH. Mustain Syafi’i dll.
3. Manajemen istiqamah
Setelah Al-Quran dihafal secara penuh (30 juz), seringkali
seorang hafidz disibukkan oleh studinya, kegiatan rumah tangga atau
sibuk dengan pekerjaan, sehingga kerap kali Al-Qur’an yang sudah
dihafalnya beberapa tahun, akhirnya hanya tinggal kenangan saja. Yang
terpenting dalam hal ini bukanlah menghafal, karena banyak orang mampu
menghafal Al-Quran dalam waktu yang sangat singkat, akan tetapi yang
paling penting adalah bagaimana kita melestarikan hafalan tersebut agar
tetap terus ada dalam dada kita.
Sering diungkapkan bahwa tugas seorang hafidz adalah
menjaga hafalan. Istilah “menjaga hafalan” ini sebenarnya cenderung
negatif, sebab dikesankan bahwa seorang hafidz itu tugasnya seperti
petugas security (Satpam) yang hanya menjaga dan tidak menikmati apa
yang dijaganya. Bayangan yang muncul di benak masyarakat umum, bahwa
menghafal al-Quran itu identik dengan menambah beban hidup menjadi lebih
berat. Saatnya kita rubah istilah tersebut dengan “melestarikan hafalan
atau menikmati al-Quran”, sehingga tidak dianggap sebagai beban,
melainkan sebagai sarana hiburan diri.
Di sinilah letak perbedaan antara orang yang benar-benar
istiqamah dengan orang yang hanya rajin pada awalnya saja. Karena, untuk
melestarikan hafalan diperlukan kemauan yang kuat dan istiqamah yang
tinggi. Dia harus meluangkan waktunya setiap hari untuk mengulangi
hafalannya. Banyak cara untuk menjaga hafalan Al-Quran, masing-masing
tentunya memilih yang terbaik untuknya.
Mengulangi hafalan perlu dilakukan dalam shalat lima waktu.
Seorang muslim tentunya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu,
hal ini hendaknya dimanfaatkan untuk mengulangi hafalannya. Agar terasa
lebih ringan, hendaknya setiap shalat dibagi menjadi dua bagian, sebelum
shalat dan sesudahnya. Misalnya, sebelum shalat: sebelum adzan, dan
waktu antara adzan dan iqamah. Apabila dia termasuk orang yang rajin ke
masjid, sebaiknya pergi ke masjid sebelum azan agar waktu untuk
mengulangi hafalannya lebih panjang. Kemudian setelah shalat, yaitu
setelah membaca dzikir ba’da shalat atau dzikir pagi pada shalat shubuh
dan setelah dzikir selepas shalat Asar. Seandainya saja, ia mampu
mengulangi hafalannya sebelum shalat sebanyak seperempat juz dan sesudah
shalat seperempat juz juga, maka dalam satu hari dia boleh mengulangi
hafalannya sebanyak dua juz setengah.
Dengan model istiqamah seperti ini, bisa jadi seseorang
mampu mengkhatamkan hafalannya setiap dua belas hari sekali, tanpa
menyita waktunya sedikitpun. Kalau dia mampu menyempurnakan setengah juz
setiap hari pada shalat malam atau shalat-shalat sunnah lainnya,
berarti dia bisa menyelesaikan setiap harinya tiga juz, dan mampu
mengkhatamkan Al-Quran pada setiap sepuluh hari sekali. Banyak para
ulama terdahulu yang menghatamkan hafalannya setiap sepuluh hari sekali.
Ada sebagian orang yang mengulangi hafalannya pada malam hari saja,
yaitu ketika ia mengerjakan shalat tahajjud. Biasanya dia menghabiskan
shalat tahajjudnya selama dua jam. Cuma kita tidak tahu, selama dua jam
itu berapa juz yang ia sanggup baca. Menurut ukuran umum, hafalan yang
lancar, bisa menyelesaikan satu juz dalam waktu setengah jam. Berarti,
selama dua jam dia boleh menyelesaikan dua sampai tiga juz, dengan
dikurangi waktu sujud, ruku, dan duduk tasyahhud.
Ada juga sebagian orang yang mengulangi hafalannya dengan
cara masuk dalam majlis para penghafal Al-Quran. Kalau majlis tersebut
diadakan setiap tiga hari sekali, dan setiap peserta wajib mendengarkan
hafalannya kepada temannya lima juz berarti masing-masing dari peserta
mampu mengkhatamkan Al-Quran setiap lima belas hari sekali.
4. Manajemen tempat
Tempat yang kondusif akan memberikan pengaruh signifikan
terhadap kesuksesan menghafal. Mereka yang tinggal di lingkungan yang
acuh tak acuh atau bahkan anti mendengar lantunan al-Quran, akan merasa
canggung untuk menghafal setiap saat. Sebaliknya mereka yang tinggal di
pesantren khusus tahfidz, akan merasakan sebuah lingkungan yang
kondusif, mau menghafal kapan saja dan di mana saja dan dengan cara
apapun, dan hal itu tidak ada problem.
Secara umum, tempat yang paling kondusif untuk menghafal
adalah masjid. Namun, kadang masing-masing orang memiliki selera dan
tingkat kejenuhan yang berbeda, sehingga diperlukan alternatif tempat
lain yang sunyi, seperti: di sawah, sungai, pesisir, makam, terutama
makam ulama-ulama terkenal, seperti makam syeikh Hasyim Asyari Jombang
yang sering dipakai tempat menghafal oleh santri-santri Pesantren
“Madrasatul al-Quran”.
Bagi seseorang yang sudah hafal dan lancar, tempat tidak lagi menjadi soal. Sebab, ia bisa melakukan murajaah di
manapun; di atas pesawat terbang, motor, mobil atau di tempat keramaian
sekalipun. Terutama, saat mushaf al-Quran sudah dapat dimasukkan ke
ponsel (HP), dengan begitu tidak ada lagi rasa “sungkan” membawa dan
membaca al-Quran di tengah kerumunan massa. Tentu, itu dilakukan dengan
suara pelan yang tidak mengusik atau menyita perhatian orang lain.
C. Meluruskan 10 Mitos Seputar Menghafal al-Quran
Setiap orang yang mau menghafal al-Quran pasti akan
dihantui mitos (keyakinan tak berdasar), sebelum melangkah. Mitos
tersebut kadang berdampak pada melemahnya motivasi atau harapan yang
berlebihan usai hafal al-Quran nantinya. Sering terjadi, ketika anak
minta izin pada orangtuanya untuk mulai menghafal al-Quran, orang tua
melarang atau tidak merestuinya akibat perspektif yang salah tentang
dunia hafalan.
Jadi mitos itu bisa meruntuhkan mental diri sendiri dan
juga mampu meruntuhkan mental orang lain. Kedua dampak tersebut
sama-sama merugikan mereka yang akan menghafal. Anehnya, mitos tersebut
justru muncul dari orang yang belum memiliki pengalaman menghafal sama
sekali. Dengan kata lain, mereka telah menyesatkan orang lain akibat
ketidaktahuan mereka. Berikut ini mitos-mitos yang harus diluruskan.
1. Menghafal itu banyak cobaan dan godaan
Konon, cobaan orang yang menghafal al-Quran itu banyak,
seperti mengidap penyakit, gangguan lingkungan, musibah keluarga.
Sebenarnya sering sekali orang yang sedang menghafalkan al-Quran itu
jatuh sakit, tetapi itu lebih diakibatkan faktor eksternal. Mungkin saja
kurang olahraga, sedikit gerak, makan tidak teratur menjadi
penyebabnya. Jadi, jangan dikaitkan penyakit yang menimpa dengan proses
menghafal.
Bila terpaksa kita harus mencari-cari korelasi antara
penyakit dengan hafalan, maka akan terjadi lompatan berpikir dan
rekayasa logika yang panjang. Misalnya: “Orang yang menghafal
menghabiskan sebagian besar waktunya dengan duduk. Duduk dalam jangka
waktu lama akan mengendapkan lemak dan melambatkan sirkulasi darah.
Darah yang terhambat berdampak pada lemahnya fungsi syaraf dan motorik
organ. Lemahnya fungsi syaraf mengakibatkan konsentrasi berkurang dan
sering pusing. Pusing dalam kurun waktu lama akan mengakibatkan
instabilitas kinerja organ lainnya. Inilah yang disebut sakit.” Jika
logika itu yang dipakai, maka aktifitas apapun berpotensi datangnya
penyakit.
Tak kalah dahsyatnya, konon penghafal al-Quran itu selalu
mendapat godaan dari lawan jenis dan maksiat lainnya, terutama saat
menghafal surat an-Nisa (wanita). Ini juga mitos yang sama sekali tak
berdasar. Pengalaman banyak penghafal al-Quran ternyata tidak mengalami
kejadian itu. Seandainya fakta itu ada, kemungkinan besar orang yang
bersangkutan telah membawa benih-benih asmara itu sebelum mulai
menghafal. Akibatnya, kejenuhan menghafal atau akumulasi keteledoran
menjadikannya mencari selingan aktifitas lain sebagai pelarian dan
pelampiasan. Menyatukan dua fokus (bercinta dengan menghafal) jelas
sangat sulit dan memunculkan masalah baru, yaitu asmara amburadul,
hafalan juga hancur. Semakin amburadul, semakin seseorang mencari
pelampiasan yang lebih dalam lagi.
2. Jangan menghafal, kalau lupa, dosanya besar
Konon pengahafal al-Quran itu dosanya besar, bila melupakan
ayat yang pernah dihafalnya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Tirmidzi dari Anas bin Malik:
وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي، فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا
أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ القُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ
نَسِيَهَا
Saya diperlihatkan dosa umatku, maka saya tidak melihat
dosa yang lebih besar dibanding dengan surat dan ayat dari al-Quran yang
dihafal oleh seseorang lalu ia melupakannya.
Hadis ini menurut al-Albani tergolong dlaif, sehingga dia
tidak bisa dijadikan pegangan untuk landasan hukum (halal dan haram).
Meski demikian, hadis tersebut masih dapat digunakan untuk motivasi
kebaikan (fadlail a’mal). Hadis ini ditujukan tidak hanya pada mereka
yang hafal 30 juz saja, tetapi mereka yang hafal satu surat pendek pun,
bahkan satu ayatpun kena, apabila pada akhirnya hafalan tersebut
dilupakan. Dahulu ketika masih belajar di TPQ atau MI, MTs begitu banyak
pelajar yang hafalan ayat atau surat, sebagai persyaratan kelulusan
atau penunjang nilai, bila kini ternyata hafalan itu banyak yang menguap
(tidak hafal lagi), ia juga menjadi sasaran (khitab) dari hadis
tersebut.
Hanya saja, persoalannya tidak sesederhana itu. Lupa telah
menjadi ciri dari makhluk Allah yang bernama manusia. Pertanyaan adalah
lupa yang seperti apa yang dianggap dosa besar itu? Adakalanya lupa
disengaja, adakalanya juga tidak disengaja. Disengaja artinya melakukan
suatu kecerobohan/kesembronoan secara sadar lalu berdampak pada
hilangnya ayat/surat dari al-Quran. Tidak disengaja artinya segala upaya
untuk melanggengkan hafalan telah dilakukan secara kontinyu, namun
masih ada saja huruf yang kurang, kata yang tak terbaca atau bahkan
terlewatinya satu ayat al-Quran tanpa ada kesengajaan. Jelas kesalahan
karena faktor ketidaksengajaan itu akan diampuni oleh Allah, karena di
luar kekuatan manusia. Mustahil dijumpai di dunia ini, selain
Rasulullah, orang yang menghafal 30 juz tanpa salah/lupa sama sekali.
Sementara orang yang sembrono, mungkin dalam waktu sekian bulan tidak
memurajaah hafalannya, jelas ini sama halnya menghina Allah. Sang
pencipta telah memberi karunia agung berupa hafal al-Quran, lalu karunia
itu diterlantarkan. Jadi subtansi masalahnya bukan pada lupanya tapi
pada kecerobohannya itu.
Ada logika yang kurang benar pada kata: jangan menghafal,
nanti khawatir lupa. Mestinya dibalik: menghafallah agar selalu ingat.
Begitu sulitnya kita memurajaah sekian banyak ayat dan surat yang
berserakan (sesuai hafalan acak sejak masa kecil dulu). Sementara itu,
dengan menghafal keseluruhan, semua ayat yang berserak akan terhimpun
teratur dan tertib dari awal hingga akhir dan termurajaah secara rutin.
Ungkapan: jangan menghafal, hakikatnya adalah perasaan pesimis kalah
yang ditularkan kepada orang lain, sebelum peperangan sungguh-sungguh
dimulai. Bisa jadi, orang yang dilarang menghafal itu punya potensi
besar menghafal cepat dan bagus, sehingga melarang orang lain menghafal
hakikatnya mengkebiri hak orang untuk sukses menjalani kehidupan dunia
dan akherat.
Semestinya anjuran menghafal atau tidak menghafal harus
datang dari kyai atau ustadz yang sukses menghafal dan memahami persis
psikologi menghafal, bukan kyai atau ustadz yang belum pernah atau gagal
menghafal. Ibarat dokter, semakin ia kompeten dan memiliki gelar
spesialis, semakin ia punya kewenangan untuk mengidentifikasi penyakit
tertentu dan memberi resep, serta pasien juga tidak merasa was-was
ketika ditangani dokter tersebut.
3. Menghafal itu butuh waktu lama
Konon proses menghafal itu butuh waktu yang sangat lama,
betulkah? Sering pertanyaan seputar durasi waktu menghafalkan seperti
ini muncul. Ternyata jawaban dari pertanyaan tersebut sangat bervariasi
mulai dari yang super cepat (kurang dari 10 bulan) sampai yang paling
lambat di atas 10 tahun, bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan.
Jika jawabannya bervariasi, maka tidak bisa diklaim bahwa menghafal itu
pasti memakan waktu lama.
Animo masyarakat muslim terutama di perkotaan untuk
menghafal al-Quran kian besar dan tak terbendung, sementara pada saat
yang sama mereka dihadapkan pada tuntutan hidup faktual (bekerja,
menikah, membesarkan anak, meniti karir, melanjutkan studi,
berorganisasi). Lagi-lagi, persoalan yang muncul adalah cukupkah dalam
waktu terbatas (1 tahun, 2 tahun dst) semua keinginan itu berjalan
simultan.
Memang benar, menghafal al-Quran termasuk kategori Extra Ordinary Memorization(EOM),
proyek menghafal yang luar biasa banyaknya, sekitar 600 (full) halaman
dengan ratusan kata yang mirip dan ratusan kata non Arab di dalamnya.
Dibutuhkan kolaborasi antara psikis, fisik, transeden yang kokoh untuk
melakukannya. Ketenangan psikis dibutuhkan agar kerja otak untuk proses
menghafal tidak terganggu, fokus dan stabil dalam jangka waktu yang
panjang. Fisik yang sehat ikut juga berkontribusi menjaga stabilitas
psikis, kinerja mekanis tubuh. Menggerakkan mulut untuk membaca, tangan
membuka mushaf dibutuhkan kinerja mekanis tubuh yang sehat. Peran
transendental (keyakinan/keimanan), meski kerja di belakang layar,
adalah mengatur harmoni psikis dan fisik sekaligus mensupplay tenaga
yang maha dahsyat. Seringkali aspek transedental ini mendominasi dan
mengambil alih peran psikis dan fisik. Contoh banyak sekali orang buta
yang hafal al-Quran, tidak jarang orang yang berbaring sakit sukses
menghafal.
Pengalaman membuktikan bahwa perencanaan yang baik dalam
menghafal dapat mempercepat tuntasnya hafalan. Tak terhitung jumlahnya
para santri tahfidz di Indonesia yang hafal al-Quran kurang dari satu
tahun, bahkan di Saudi Arabia ada seorang perempuan yang menyelesaikan
hafalan 30 dalam waktu satu bulan. Jadi, menghafal itu tidak harus lama,
ia bisa cepat asalkan diorganisir sedemikian rupa sehingga terjadi
keseimbangan antara murajaah hafalan baru dan lama, terjadi efektifitas
pemanfaatan waktu 24 jam dalam sehari semalam.
4. Menghafal itu membuat pikiran tumpul dan lemah dalam pemahaman
Konon penghafal al-Quran itu kecerdasannya berkurang.
Mereka tidak mampu menguasai kitab kuning, jadi sarjana dll. Mitos
tersebut hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan hafalan sebagai
ghayah (tujuan) bukan wasilah (media/jembatan). Hafalan sebagai tujuan
artinya ketika tujuan itu tercapai maka berhentilah segala upaya yang
terkait menghafal. Bagi mereka yang penting adalah lancar membaca dan
banyak undangan acara khatmil Quran, sehingga tidak ada lagi upaya untuk
mendalami bacaan (ilmu qiraat), mempelajari isi kandungannya (tafsir),
menggali hukum yang ada di dalamnya (ayatul ahkam), atau mengkaitkan
ayata-ayat al-Quran dengan ilmu pengetahuan lain (munasabah). Penghafal
seperti ini jelas kehilangan harapan untuk menggali khazanah ilmu
al-Quran sehingga kecerdasan otak dan akal menjadi tumpul dan tak
terasah. Apa yang ia baca laksana mantra yang hebat meski tak memahami
isinya.
Berbeda dengan mereka yang menjadikan hafalan sebagai
wasilah saja. Tujuan utama menghafal bagi mereka adalah menguasai sumber
hukum Islam, menjadikan al-Quran sebagai sumber inspirasi sekaligus
pedoman hidup. Kelompok ini tergolong kelompok mayoritas. Hampir semua
ulama besar di Timur Tengah hafal al-Quran. Ini jelas berbeda dengan di
Indonesia. Seakan di sini ada dikotomi, ulama al-Quran dan ulama kitab
kuning. Juga ada asumsi bahwa ulama al-Quran kurang kompeten dalam
menguasai kitab kuning, sebaliknya juga demikian ulama kitab kuning
dianggap tidak ada yang hafal al-Quran.
Menurut Abdud Daim al-Kaheel, orang yang hafal al-Quran itu
pasti otaknya lebih cerdas dan intelegensinya meningkat. Ia sendiri
menceritakan bisa menjadi cerdas akibat menghafal al-Quran.Proses
menghafal hakikatnya proses pengasahan otak dalam waktu yang sangat
lama. Otak yang telah terasah ini jelas menjadi lebih cerdas dari
sebelumnya.
5. Pengahafal al-Quran itu malas bekerja
Karena ada kekhawatiran hafalannya hilang, umumnya
penghafal al-Quran fokus dalam setiap waktunya untuk murajaah, sehingga
tidak ada waktu untuk bekerja. Kadang tradisi terbiasa tidak bekerja itu
terbawa sampai masa tua, selalu merasa canggung untuk bekerja kasar,
sehingga terbentuk opini bahwa penghafal al-Quran itu priyayi, dan
priyayi itu minta dihormati dan enggan melakukan pekerjaan berat atau
kasar. Betulkah demikian?
Jelas mitos di atas tidak benar meski pada kenyataannya
sebagian kecil masih ada yang seperti itu. Nama besar seorang “penghafal
al-Quran” kadang membuat silau diri sendiri. Kesilauan itu akhirnya
membebani diri sendiri secara berlebihan. Beberapa pesantren tahfidz di
Indonesia sudah banyak yang menerapkan kurikulum tertentu untuk merubah
mindset negatif tersebut dan berupaya menetralisir tabiat “gede
rumongso” di kalangan para santrinya. Sebagai contoh: alm. KH. Mustain
Syamsuri (pendiri PP. Tahfidz Darul Quran Singosari Malang) melatih
santrinya untuk berwirausaha dengan cara memperkerjakan mereka sebagai
tukang bangunan, penjual snack keliling, sopir angkot dan sebagainya
seusai setoran al-Quran di pagi hari. Dari aspek penampilan, para santri
diminta untuk tidak mengenakan simbol kesantriannya (kopiyah, sarung,
sorban, baju koko) ketika mereka sedang bekerja. Dari kurikulum
interpreneurship tersebut, lahir para alumni yang tidak canggung bekerja
kasar dan keras dalam segala bidang kehidupan. Di antara mereka ada
penjual rokok keliling, juru parkir, makelar mobil, dosen, guru dan
lain. KH. Mustain pernah berpesan: “Hafalan al-Quran itu bukan sumber
maisyah (ekonomi), ia semata karunia tuhan dan hanya dipersembahkan
untuk-Nya. Ketika bermuamalah dengan orang lain, lupakan status
“penghafal al-Quran” itu bergaullah seperti umumnya orang dari aspek
acara bicara, cara berpakaian, cara bekerja.”
Jadi penghafal al-Quran itu mestinya memiliki etos kerja
tinggi, pekerja keras. Lalu apa dengan bekerja itu tidak mengganggu
murajaah harian mereka? Seperti halnya dzikir, murajaah al-Quran -sesuai
ayat al-Quran- itu bisa dilaksanakan dalam kondisi berdiri, duduk
maupun berbaring. Penghafal al-Quran harus pandai-pandai cari tempat
atau cari waktu untuk murajaah yang sama sekali tidak mengganggu
aktifitas kerja maupun muamalah. Dengan demikian, hafalan al-Quran itu
tidak menghalangi orang sedikitpun untuk menjadi orang sukses melalui
aktifitas kerja harian.
6. Membaca dengan hafalan itu mereduksi pahala mata (untuk melihat tulisan mushaf)
Konon pengahafal al-Quran itu pahalanya lebih sedikit
dibanding pembaca al-Quran dengan mushaf, karena tidak seluruh anggota
tubuh ikut aktif pada proses membaca. Padahal, masing-masing peran dari
organ tubuh dalam membaca al-Quran itu mendatangkan pahala
sendiri-sendiri. Mata melihat mushaf ada pahalanya, telinga mendengar
ada pahalanya dan mulut melantunkan ayat juga ada pahalanya.
Memang benar Imam Ghazali dan Qadli Husein (tokoh pada
madzhab Syafi’I) berpendapat tentang hal yang sama dengan penjelasan di
atas bahwa membaca mushaf itu lebih afdal daripada membaca hafalan.
Tetapi yang perlu juga dipahami, kalau melihat mushaf saja pahala,
bagaimana dengan proses penyimpanan dan reproduksi memori al-Quran
melalui otak, apa peran otak tidak ada pahalanya? Menurut Imam Nawawi
dalam kitabnya “at-Tibyan” keutamaan membaca mushaf daripada membaca
hafalan itu terjadi manakala dari aspek kekhusyuan, perenungan makna itu
sama baiknya. Berarti kalau dengan membaca hafalan itu seseorang
semakin khusu’ dan mampu mentadabburi daripada membaca mushaf, maka
membaca hafalan lebih afdal, demikian juga sebaliknya.
Dari aspek lain, setiap huruf al-Quran yang dibaca bernilai
sepuluh kebaikan. Jadi semakin banyak ayat dibaca, semakin banyak pula
pahala yang didapat. Hanya umumnya penghafal al-Quran frekwensinya baca
al-Quran-nya relatif lebih banyak dibanding dengan mereka yang tidak
hafal. Sebetulnya tidak ada larangan seorang penghafal itu membaca
mushaf, sebagaimana tidak ada keharaman pembaca mushaf untuk menghafal
al-Quran. Keduanya tidak saling bertentangan, bila bosan menghafal, ya
membaca, Jika bosan membaca, ya menghafal, begitu seterusnya.
7. Penghafal al-Quran itu bacaanya tidak bagus (kurang tartil)
Konon penghafal al-Quran itu tidak ada yang membaca secara
tartil, karena terbiasa baca cepat dan mempercepat putaran 30 juz dalam
beberapa hari saja. Pernyataan tersebut benar bila tidak digeneralisir.
Yakni, memang ada yang demikian, namun ada juga yang bacaannya bagus,
murottal sebagaimana ditunjukkan oleh para imam masjid di Mekkah dan
Madinah. Di Indonesia, para peserta MHQ (musabaqah hifdzil quran)
umumnya memiliki hafalan dan bacaan yang bagus dan murottal.
Bila ukuran penilaian itu dari acara khataman di
kampung-kampung, jelas ini tidak fair karena hanya kasuistik dan
temporer. Motivasi membaca cepat (hadr) semata memenuhi tuntutan
pengundang agar khatam 30 juz dalam waktu maksimal 10 jam (3 juz
perjam). Guru besar ilmu qiraat di IIQ Jakarta pernah berpesan: baca
cepat itu boleh asal tidak seringa, hanya sebatas “tombo kangen”
(pelepas dahaga kerinduan).
Dalam tingkatan bacaan (maratib al-Qiraah), diperbolehkan
baca cepat asalkan masih sesuai kaidah tajwid, inilah yang disebut
dengan tingkatan hadr. Artinya cepat atau lambat itu diperbolekan bila
terbalut dengan prasyarat yang bernama tartil (segala bacaan yang sesuai
kaidah). Imam Ali bin Abi Thalib berkata: tartil itu memperbaiki bacaan
huruf dan mengetahui tempat wakaf. Kecepatan membaca yang di luar batas
wajar (hadzramah) bagaimanapun juga tidak diperkenankan dalam membaca
al-Quran, inilah yang menurut Imam Nawawi termasuk bacaan yang
diharamkan.
8. Menjaga hafalan itu lebih berat dari menghafal awal
Konon menghafal itu lebih mudah daripada menjaganya.
Sebagian orang termasuk para orangtua tidak mengizinkan anaknya atau
familinya untuk menghafal al-Quran dengan dalih menjaga hafalan itu
berat, bahkan lebih berat dari menghafal itu sendiri. Mitos ini bisa
menjadi virus mematikan bagi siapa saja akan menghafal. Virus ini lebih
mengedepankan pesimis daripada optimisnya. Anehnya virus ini lebih
sering dihembuskan oleh orang yang belum pernah menghafal, dia hanya
memandang dari kejauhan dan silau sebelum mendekat.
Padahal begitu masifnya penghafal al-Quran yang merasakan
manisnya madu berdzikir al-Quran, sejuknya dekapan untaian al-Quran.
Ibarat makanan, delapan jam saja kita tidak mengkosumsinya, tubuh terasa
lemah, rindu dan ingin mendekat. Demikian halnya, bagi penghafal
al-Quran sehari saja bibir mereka tidak basah dengan nada al-Quran,
terasa sangat lapar dan dahaga. Ia bagai oase di tengah panasnya cuaca
padang pasir, mampu menyejukkan hati yang gundah serta menyegarkan
pikiran yang galau.
9. Sebelum menghafal itu wajib izin pada orang tua/guru
Konon sebelum menghafal al-Quran itu wajib minta restu
orang tua/guru, agar mendapatkan ridlo Allah. Mitos ini mengandung unsur
benar dan juga sekaligus salah. Unsur benarnya adalah orang tua merasa
dihargai dengan permohonan izin tersebut dan restu mereka menjadikan
langkah anak semakin mantab, serta doa orang tua/guru memberikan
sumbangan energi dahsyat pada kesuksesan anak/murid. Unsur salahnya
adalah bila segala bentuk kebaikan itu harus minta izin orang tua, maka
begitu beratnya tugas anak. Seringkali ketidaktahuan orang tua tentang
hal ikhwal hafalan, mematahkan asa anak untuk menghafal.
Semua orang tua/guru ingin anaknya/muridnya bahagia dalam
belajar (dengan makan cukup, tidur nyenyak, ibadah nyaman), sementara
menghafal itu proses berat dan melelahkan, sehingga kadang orang
tua/guru tidak mengizinkan anaknya/muridnya menghafal. Hindarilah
pertanyaan yang apabila dijawab justru kita berat melaksanakannya, itu
pesan al-Quran. Anak yang minta izin, kemudian orang tua tidak
mengizinkan, tidak etis anak menentang keputusan orang tua. Kekhawatiran
terbesar dari mitos keharusan izin ini adalah hilangnya motivasi diri
anak/murid untuk menghafal, padahal motivasi ini harta berharga yang
sulit dicari dan susah ditumbuhkan kembali ketika memudar dan tenggelam.
Solusi terbaik adalah jalan tengah, seorang anak sebaiknya
jangan minta izin, tetapi minta saran, itupun bila dipandang orang
tua/guru tersebut memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai
tentang seluk beluk menghafal al-Quran.
10. Penghafal al-Quran itu layak dihormati
Konon orang yang hafal al-Quran itu kemanapun selalu
dihormati orang lain, disanjung dan dipuja. Seakan rizkinya mengalir
deras tanpa kerja berat. Mitos ini menjadi pemicu motivasi banyak orang
untuk menghafal al-Quran. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengamatan dari
orang yang bersangkutan kepada seorang tokoh yang dihormati dan
kebetulan hafal al-Quran. Sah-sah saja motivasi awal menghafal seperti
itu, namun sebaiknya dalam perjalanan selanjutnya mitos tersebut sedikit
demi sedikit harus dirubah.
Ada beberapa alasan kenapa harus dirubah, yaitu: (1)
menuntut ilmu dan ibadah harus dilandasi keikhlasan semata karena Allah,
(2) adalah hak orang lain untuk menilai apakah kita layak atau tidak
untuk dimuliakan, (3) harapan yang berlebihan dapat mengakibatkan shock
berat (stress), bila tidak tercapai, (4) tidak semua orang yang
menghafal itu tuntas 30 juz, dan tidak semua yang tuntas itu berkualitas
bagus dan lancar, kualitas hafalan yang bagus dan lancar, tidak serta
merta mendapatkan pujian atau sanjungan.
Fokus penghafal al-Quran harus diarahkan untuk ta’abbud dan
taqarrub pada Allah, serta menyelami dalam dan luasnya samudara ilmu
Allah melalui al-Quran. Dapat cercaan tidak emosi dan terus introspeksi,
dapat pujian tetap rendah hati. Berharaplah pujian dan kemuliaan
langsung dari pemilik al-Quran yaitu Allah swt.
Wassalam, Selamat berjuang semoga sukses